Selasa, 14 Agustus 2012



Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin
Pahlawan yang Tetap Terbuang
Mungkin hanya sedikit orang yang mengenal nama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. Dia dibuang oleh kolonial Belanda, ke daerah nun jauh dari tempat asalnya. Hingga ajal menjemputnya dia tetap dalam status keadaan terbuang. Dia adalah pahlawan nasional Indonesia.
Dalam pelajaran Sejarah Indonesia di semua tingkat pendidikan, siswa diajarkan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Selama itu pula, terjadi perang di semua daerah di Nusantara. Rakyat tidak rela negerinya dijajah bangsa asing, dan kekayaan alamnya dibawa penjajah ke negerinya. Rakyat pun berontak melawan penjajah, dan terjadilah perang di mana-mana di wilayah Indonesia, demi kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara.
Di Kalimantan Selatan dikenal dengan Perang Banjar. Di Pulau Jawa dikenal dengan Perang Diponegoro. Di Sumatera tepatnya di Sumatera Barat, terjadi Perang Padri. Perang yang sangat hebat, terjadi selama sekitar 17 tahun yakni pada 1821-1838. Sebuah peristiwa penaklukan Kota Bonjol oleh Belanda.
Melihat rakyat yang sangat menderita dan dalam kondisi perang, muncullah seorang pemuda dengan gagah berani melawan Belanda demi kemerdekaan tanah air, bangsa dan negaranya. Dia adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, dengan sengit melawan Belanda yang menjajah negerinya.
Sepak terjang pemuda itu dinilai sangat membahayakan Belanda, dia pun ditangkap dan dibuang ke Priangan, kemudian dipindah ke Ambon. Terakhir dia diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Sebuah tempat yang mayoritas nonmuslim, sehingga dia terkucil dari lingkungan dan gerakan keagamaan yang dibangunnya di daerah asalnya, Sumatera Barat. Kemana pun dia dibuang, beberapa pengikutnya dengan setia menemaninya hingga akhir hayatnya.
Siapakah gerangan Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin? Dia adalah Tuanku Imam Bonjol, yang dilahirkan di Tanjungbungo, Bonjol, Sumatera Barat pada 1774. Dia meninggal di dalam pengasingan, pada 8 November 1854 di sebuah desa bernama Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Pengikutnya memakamkannya di sebuah bukit, di desa itu, tidak jauh dari tempatnya mengisi hari-harinya selama dalam pengasingan, di tepi Sungai Tomohon. Lokasinya tidak jauh dari pusat Kota Manado, ibukota Sulawesi Utara. Hanya sekitar 15 menit kalau menggunakan kendaraan bermotor. Jalannya memang agak menanjak, tetapi sangat teduh karena di sisi kanan dan kiri jalan ditumbuhi pepohonan rindang.
Makam itu dijaga oleh juru kunci, keturunan yang keempat dari pengawal Tuanku Imam Bonjol. Dia menjaga dan merawat makam itu dengan setia tanpa imbalan sama sekali. Lokasi sekitar makam yang dihibahkan pemerintah, dimanfaatkannya untuk tempat tinggal dan sekadar menyambung hidupnya sekeluarga dengan membuka warung kecil. Di warung itu dia dan keluarga menjual minuman panas seperti kopi, teh, susu dengan beberapa jenis makanan ringan, untuk peziarah yang datang.
Sedangkan sumbangan peziarah digunakan untuk merawat dan biaya perbaikan makam sang pahlawan tersebut, Tuanku Imam Bonjol. Termasuk tempat salat Sang Imam yang terletak jauh di bawah, di tepi sungai Tomohon. Sungai berbatu-batu, yang airnya masih bersih dan jernih.
Batu besar di tengah sungai yang airnya mengalir sampai ke Kota Manado itu, diyakini sebagai tempat salat Tuanku Imam Bonjol. Itu dapat dibuktikan, di atas batu besar itu terlihat jelas bekas telapak kaki Sang Imam. Selanjutnya batu besar itu dibawa ke tepi sungai, kemudian dibuatkan bangunan kecil sederhana.
Salah satu perkumpulan Minang di Sulawesi Utara, membangun sebuah bangunan yang bagus dan kokoh untuk makam Tuanku Imam Banjol, Makam di dalam bangunan itu selalu bersih dan dirawat dengan setia oleh sang juru kunci.
Dihantam batu
Di seberang sungai sekitar sepuluh meter dari lokasi batu yang dipercaya sebagai tempat salat Tuanku Imam Bonjol, berdiri pabrik minuman keras. Penjaga makam menceritakan, pada 2006 batu besar yang diyakini tempat salat Tuanku Imam Bonjol tersebut menghantam bangunan pabrik minuman keras saat banjir yang membawa arus besar di sungai itu. Batu itu hanyut terbawa banjir dan menghantam bangunan di seberangnya. Hantaman batu itu seperti  perlawanan terakhir Tuanku Imam Bonjol terhadap kekeliruan yang ada di sekitarnya.
Penjaga makam itu mengaku, pernah melayangkan surat protes kepada pemerintah atas keberadaan pabrik minuman keras yang terlalu dekat dengan makam Sang Imam, tetapi tidak diindahkan. Untuk mengenang peristiwa banjir dan hantaman batu terhadap bangunan pabrik minuman keras itu, sang penjaga makam menuliskannya di papan besar dan ditempelkan di  dinding di samping batu besar itu. Tulisan tersebut dapat dibaca oleh siapa pun yang memasuki bangunan kecil itu.
Untuk sampai ke bangunan kecil itu, dibuatkan tangga dari pintu bangunan makam Tuanku Imam Bonjol. Jadi peziarah sangat mudah menuruni bukit tersebut, yang memang cukup curam. Peziarah pun dapat melihat bangunan pabrik minuman keras di seberang sungai kecil itu.
  Masjid Imam Bonjol
Di tepi jalan raya Lotta itu, berdiri sebuah masjid kecil. Letaknya persis berseberangan dengan kompleks bangunan makam Tuanku Imam Bonjol. Masjid kecil itu bernama Masjid Imam Bonjol. Penduduk muslim di sekitar masjid, menyelenggarakan salat berjamaah dan salat Jumat di masjid itu. Sebagaimana makam dan tempat salat Tuanku Imam Bonjol, masjid itu dijaga dan dirawat oleh keluarga juru kunci makam dan penduduk sekitar, sehingga selalu bersih.
Melihat lokasi makam yang agak terpencil dari keramaian, Tuanku Imam Bonjol masih tetap terbuang hingga kini. Hanya perkumpulan keluarga Minang di Sulawesi Utara, yang berziarah setiap tahun ke makam Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, Gelar Tuanku Imam Bonjol, yang ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional. Andai mereka tidak menziarahi sang Imam, maka besar kemungkinan tidak ada perhatian terhadap makam sang pahlawan itu. Padahal Tuanku Imam Bonjol adalah seorang muslim yang taat dan kuat memegang prinsip, sehingga menjadi inspirasi dan penggerak muslim lainnya dalam melawan penjajah. (ima)

Tidak ada komentar: