Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin
Pahlawan yang
Tetap Terbuang
Mungkin hanya
sedikit orang yang mengenal nama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. Dia dibuang oleh
kolonial Belanda, ke
daerah nun jauh dari tempat asalnya. Hingga ajal menjemputnya dia tetap dalam
status keadaan terbuang. Dia adalah pahlawan nasional Indonesia.
Dalam pelajaran
Sejarah Indonesia di semua tingkat pendidikan, siswa diajarkan bahwa Belanda
menjajah Indonesia selama 350 tahun. Selama itu pula, terjadi perang di semua
daerah di Nusantara. Rakyat tidak rela negerinya dijajah bangsa asing, dan
kekayaan alamnya dibawa penjajah ke negerinya. Rakyat pun berontak melawan
penjajah, dan terjadilah perang di mana-mana di wilayah Indonesia, demi
kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara.
Di Kalimantan
Selatan dikenal dengan Perang Banjar. Di Pulau Jawa dikenal dengan Perang
Diponegoro. Di Sumatera tepatnya di Sumatera Barat, terjadi Perang Padri.
Perang yang sangat hebat, terjadi selama sekitar 17 tahun yakni pada 1821-1838.
Sebuah peristiwa penaklukan Kota Bonjol oleh Belanda.
Melihat rakyat
yang sangat menderita dan dalam kondisi perang, muncullah seorang pemuda dengan
gagah berani melawan Belanda
demi kemerdekaan tanah air, bangsa dan negaranya. Dia adalah Peto Syarif Ibnu Pandito
Bayanuddin, dengan sengit melawan Belanda
yang menjajah negerinya.
Sepak terjang
pemuda itu dinilai sangat membahayakan Belanda, dia pun ditangkap dan dibuang
ke Priangan, kemudian dipindah ke Ambon. Terakhir dia diasingkan ke Manado,
Sulawesi Utara. Sebuah tempat yang mayoritas nonmuslim, sehingga dia terkucil
dari lingkungan dan gerakan keagamaan yang dibangunnya di daerah asalnya, Sumatera
Barat. Kemana pun dia dibuang, beberapa pengikutnya dengan setia menemaninya
hingga akhir hayatnya.
Siapakah
gerangan Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin? Dia adalah Tuanku Imam Bonjol,
yang dilahirkan di Tanjungbungo, Bonjol, Sumatera Barat pada 1774. Dia meninggal
di dalam pengasingan, pada 8 November 1854 di sebuah desa bernama Lotta,
Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Pengikutnya
memakamkannya di sebuah bukit, di desa itu, tidak jauh dari tempatnya mengisi
hari-harinya selama dalam pengasingan, di tepi Sungai Tomohon. Lokasinya tidak jauh dari pusat
Kota Manado, ibukota Sulawesi Utara. Hanya sekitar 15 menit kalau menggunakan
kendaraan bermotor. Jalannya memang agak menanjak,
tetapi
sangat teduh karena di sisi kanan dan kiri jalan ditumbuhi pepohonan rindang.
Makam
itu dijaga oleh juru kunci, keturunan yang
keempat dari pengawal Tuanku Imam Bonjol. Dia menjaga dan merawat makam itu
dengan setia tanpa imbalan sama sekali. Lokasi sekitar makam yang dihibahkan
pemerintah, dimanfaatkannya untuk tempat tinggal dan sekadar menyambung
hidupnya sekeluarga dengan membuka warung kecil. Di warung itu dia dan keluarga
menjual minuman panas seperti kopi, teh, susu dengan beberapa jenis makanan
ringan, untuk peziarah yang datang.
Sedangkan
sumbangan peziarah digunakan untuk merawat dan biaya perbaikan makam sang
pahlawan tersebut, Tuanku Imam Bonjol. Termasuk tempat salat Sang Imam yang terletak
jauh di bawah, di tepi sungai Tomohon. Sungai berbatu-batu, yang airnya masih
bersih dan jernih.
Batu
besar di tengah sungai yang airnya mengalir sampai ke Kota Manado itu, diyakini
sebagai tempat salat Tuanku Imam Bonjol. Itu dapat dibuktikan, di atas batu
besar itu terlihat jelas bekas telapak kaki Sang Imam. Selanjutnya batu besar
itu dibawa ke tepi sungai, kemudian dibuatkan bangunan kecil sederhana.
Salah
satu perkumpulan Minang di Sulawesi Utara, membangun sebuah bangunan yang bagus
dan kokoh untuk makam Tuanku Imam Banjol, Makam di dalam bangunan itu selalu bersih
dan dirawat dengan setia oleh sang juru kunci.
Dihantam batu
Di
seberang sungai sekitar sepuluh meter dari lokasi batu yang dipercaya sebagai
tempat salat Tuanku Imam Bonjol, berdiri pabrik minuman keras. Penjaga makam
menceritakan, pada 2006 batu besar yang diyakini tempat salat Tuanku Imam Bonjol
tersebut menghantam bangunan pabrik minuman keras saat banjir yang membawa arus
besar di sungai
itu. Batu itu hanyut terbawa banjir dan menghantam bangunan di seberangnya. Hantaman
batu itu seperti perlawanan terakhir
Tuanku Imam Bonjol terhadap kekeliruan yang
ada di sekitarnya.
Penjaga
makam itu mengaku, pernah melayangkan surat protes kepada pemerintah atas
keberadaan pabrik minuman keras yang terlalu dekat dengan makam Sang Imam,
tetapi tidak diindahkan. Untuk mengenang
peristiwa banjir dan hantaman batu terhadap bangunan pabrik minuman keras itu, sang
penjaga makam menuliskannya di papan besar dan ditempelkan di dinding di samping batu besar itu. Tulisan tersebut
dapat dibaca oleh siapa pun yang memasuki bangunan kecil itu.
Untuk
sampai ke bangunan kecil itu, dibuatkan tangga dari pintu bangunan makam Tuanku
Imam Bonjol. Jadi peziarah sangat mudah menuruni bukit tersebut, yang memang
cukup curam. Peziarah pun dapat melihat bangunan pabrik minuman keras di
seberang sungai kecil itu.
Masjid
Imam Bonjol
Di
tepi jalan raya Lotta itu, berdiri sebuah masjid kecil. Letaknya persis
berseberangan dengan kompleks bangunan makam Tuanku Imam Bonjol. Masjid kecil
itu bernama Masjid Imam Bonjol. Penduduk muslim di sekitar masjid,
menyelenggarakan salat berjamaah dan
salat Jumat di masjid itu. Sebagaimana makam dan tempat
salat Tuanku
Imam Bonjol, masjid itu dijaga dan dirawat oleh keluarga juru kunci makam dan
penduduk sekitar, sehingga selalu bersih.
Melihat
lokasi makam yang agak terpencil dari
keramaian, Tuanku Imam Bonjol masih tetap terbuang hingga kini.
Hanya perkumpulan keluarga Minang di Sulawesi
Utara, yang berziarah setiap tahun ke makam Peto Syarif Ibnu Pandito
Bayanuddin, Gelar Tuanku Imam Bonjol, yang ditetapkan pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan nasional. Andai mereka tidak menziarahi sang Imam,
maka besar kemungkinan tidak ada perhatian terhadap makam sang pahlawan itu.
Padahal Tuanku Imam Bonjol adalah seorang muslim yang taat dan kuat memegang prinsip,
sehingga menjadi inspirasi dan penggerak muslim lainnya dalam melawan penjajah.
(ima)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar