Selasa, 24 Maret 2009

peran media



Peran Media dalam Mengawal Proses Demokratisasi untuk Sosialisasi Pemilu 2009
Oleh: Ida Mawardi *

Pemilu 2009 untuk legislatif tinggal beberapa hari lagi. Sambutan rakyat makin marak, apalagi memasuki masa kampanye seperti sekarang. Umbul-umbul, bendera dan segala macam bentuk atribut partai benar-benar marak menghiasi seluruh wilayah di Tanah Air, tak terkecuali daerah kita Kalsel.
Menyaksikan semua itu, artinya bangsa kita gembira menyambut hari penting dan bersejarah tersebut. Itu menunjukkan betapa penting arti pemilu bagi bangsa dan rakyat kita. Sebuah hari yang menentukan nasib bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) sangat berperan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yakni sebagai alat penyampai pesan kepada masyarakat. Salah satunya adalah media massa, baik cetak maupun elektronik. Dua media terakhir itu yang paling sering digunakan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakatnya, dalam hal ini yang berkaitan erat dengan Pemilu 2009.
Tak dapat dipungkiri, setiap organisasi atau pelaksanaan kegiatan tertentu membutuhkan dukungan media massa. Dalam hal itu, tidak terkecuali Pemilu 2009. Namun dalam melaksanakan tugasnya, media massa apapun bentuknya harus menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Informasi tentang pemilu harus diketahui oleh masyarakat. Misalnya, tentang perubahan teknis pemungutan suara yang dalam pemilu sebelumnya dengan cara coblos. Pemilu 2009 pada 9 Februari nanti, pemungutan suara dilakukan dengan cara contreng. Perubahan teknis itu harus diketahui oleh rakyat, khususnya mereka yang memiliki hak suara sehingga pesta rakyat lima tahunan itu berjalan lancar sesuai harapan.
Untuk itulah pers memiliki peran strategis untuk membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat. Hal itu sesuai dengan Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa: Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Namun dalam melaksanakan perannya tersebut pers harus mengacu kepada Pasal 5 ayat 1 UU Pers, yang menyatakan: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Dalam kaitannya dengan sosialisasi Pemilu 2009, tugas pers makin berat. karena selain tetap harus mematuhi UU Nomor 40 Tahun 1999, pers‘diikat’ oleh UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ada banyak pasal dalam UU tersebut yang mengatur tentang pers (media massa). Salah satunya adalah Pasal 89 yang menyatakan:
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampai epsan kampanye pemilu oleh peserta pemilu kepada masyarakat.
(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan, menyiarkan, dan mengiklankan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan pesesrta pemilu.

Masih ada banyak pasal dari UU Nomor 10 Tahun 2008 tersebut yang berkaitan dengan pers. Selama ini, pers tetap mematuhi peraturan itu dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan jurnalistik.
Jadi, pada prinsipnya dalam sebuah kegiatan apalagi event besar seperti pemilu pasti tak dapat dipisahkan dengan jurnalistik (pers). Bahkan Mendagri Mardiyanto dalam sambutannya pada Sosialisasi Pemilu Damai dan Berkualitas, dan Pendidikan Pemilih sebagai Pemenuhan Hak Konstitusi, Jumat (13/3) lalu di Jakarta mengatakan, bahwa sinergi pers, masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama membangun system pemerintahan yang berdaulat, bermartabat, baik, terbuka, dan akuntabel adalah upaya strategis yang perlu didorong dan didukung bersama.
Sinergi pers-pemerintah-masyarakat dalam kepentingan itu, mendorong perlunya penetapan prioritas penerapan fungsi dan peran pers Indonesia proses pembentukan good governance di negeri ini. Hal itu sesuai denagn fungsi pers yakni informasi, pendidikan, hiburan dan control social sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 UU nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Penerapan fungsi dan peran pers yang tepat ke arah pembentukan good governance khususnya dalam mendukung penyelenggaraan Pemilu 2009, akan dengan sendirinya membantu menggugah kesadaran masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pemilu mendatang tersebut.*









Pasal 84
(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
d. pejabat BUMN/BUMD;
e. pegawai negeri sipil;
f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
g. kepala desa;
h. perangkat desa;
i. anggota badan permusyaratan desa; dan
j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.

(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye.

(4) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut partai atau atribut pegawai negeri sipil.

(5) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.

(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.







Selengkapnya...

tugas berat wartawan


Tugas Berat Pers dalam Pemilu 2009
Pemilihan Umum 2009 tetap dilaksanakan, apa pun yang terjadi. Tugas kita sekarang adalah membuat pemilu tersebut berkualitas. Itulah kesimpulan dari Seminar Sosialisasi Pemilu Damai, Berkualitas dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik, di Gedung Wartawan PWI Kalsel di Banjarmasin, Sabtu (14/3).
Seminar tersebut diselenggarakan oleh Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mapilu-PWI) bekerja sama dengan Departemen Dalam Negeri RI. Menghadirkan empat narasumber yakni dari Jakarta yaitu Hendra J Kede (Ketua Umum Mapilu PWI) dan wakilnya A Zaini Bisri, Jamaluddin MSi (dosen FISIP Unlam) dan Siddiq Widianto (anggota KPU Kalsel),
Banyak masalah menyangkut pelaksananaan Pemilu 2009 yang disampaikan dalam seminar itu, dari soal contreng mencontreng sampai Golput (golongan penerima uang tunai) alias politik uang (money politic). Dalam diskusi sebelumnya tentang Membincang Kesiapan Pemilu 2009 di tempat yang sama, seorang peserta mengatakan Pemilu 2009 adalah pemilu yang rumit.
Politik uang termasuk memberikan sembako kepada masyarakat dalam setiap pemilu termasuk pemilihan kepala daerah, seakan menjadi tren di negeri ini. Bahkan ada semacam paradigma di masyarakat, bahwa kalau calon tidak memberikan sesuatu jangan berharap calon bersangkutan mendapat suara dari warga yang berhak memilih.
Penyelenggaraan pemilu, sebagaimana dikatakan Mendagri Mardiyanto pada Lokakarya Nasional Mapilu-PWI, Jumat di Jakarta, merupakan upaya penataan politik dan pemerintahan melalui proses politik yang dirancang guna memberi ruang bagi kekuatan politik dan masyarakat untuk terlibat dalam menentukan pejabat publik.
Mengacu kepada pernyataan Mendagri itu, maka kita yakin hasil dari pesta demokrasi baik pemilu untuk memilih anggota legislatif maupun kepala eksekutif memenuhi keinginan masyarakat sebagai pemilih. Namun fakta berbicara lain. Pemilu tidak lebih dari ajang untuk berebut sepotong kue yang bernama kekuasaan. Bahkan yang menyedihkan, kekuasaan itu dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Dalam hal ini, tugas legislasi dianggap sebagai pekerjaan sehingga harus mendapat upah. Oleh karena itu, untuk mendapatkan nya, apa pun dilakukan. Salah satunya dengan memberikan sesuatu kepada pemilih, sebagai imbalan.
Sistem politik seperti itu yang harus dihindari, karena akan merusak bangsa dan negara ini. Tidak menutup kemungkinan, calon yang melakukan politik uang itu berusaha mengembali modal yang telah dikeluarkannya apabila dia terpilih nantinya. Apa jadinya negara dan bangsa ini, kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang dan pemimpinnya atau wakil rakyat hanya mengejar keuntungan pribadi dengan berbagai cara tanpa menghirau rakyat yang dipimpin atau diwakilinya.
Masyarakat yang menggadaikan suaranya demi mendapatkan uang (money politic) dari seorang calon anggota legislatif (caleg), dianggap lebih nista dari seorang peminta minta. "Selain itu, penerima money politic akan mengalami kerugian yang sangat besar, jika caleg yang dipilihnya itu ternyata tidak mampu membawa perubahan terhadap nasib masyarakat selama lima tahun menjabat," ujar Nurul Ahmad, Dewan Pakar Mapilu-PWI Jateng sekaligus Tim Sosialisasi Pemilu Provinsi Jawa Tengah dalam Pembekalan Pemantau Pemilu 2009 yang diselenggarakan oleh PWI Jateng, di Semarang, Sabtu.
Menjadi tugas pers sebagai penyampai informasi kepada masyarakat, untuk membuat Pemilu 2009 yang kini berada di depan mata menjadi berkualitas. Sebuah tugas yang sangat berat, tapi mau tidak mau itu harus dilakukan demi masa depan bangsa dan negara ini minimal untuk masa lima tahun ke depan.



Selengkapnya...

Jumat, 06 Maret 2009

Akal


BEBERAPA hari terakhir ini, Ponari masih menjadi pembicaraan di masyarakat dan pemberitaan di media massa cetak dan elektronik. Bocah laki-laki murid kelas tiga SD Balongsari, Jombang itu, dianggap bisa menyembuhkan orang dari berbagai penyakit yang menyerang melalui batu yang dimilikinya.

Setelah 'kesaktian' Ponari mampu menyedot ribuan orang untuk datang berobat kepadanya, muncul orang lain yang juga mengaku sanggup menghilangkan penyakit yang menyerang manusia. Dia juga menggunakan media batu untuk keperluan pengobatan tersebut. Ratusan atau mungkin ribuan orang berdatangan dengan berbagai keluhan dan penyakit. Tujuannya sama, berusaha berobat.

Dalam waktu yang bersamaan, ada pula yang mengaku lantai ubin di salah satu pojok rumahnya terasa panas. Lantai ubin itu, juga dipercaya dapat mengobati orang sakit. Lagi-lagi, warga pun berdatangan ke rumah itu untuk mendapatkan kesembuhan.

Dua peristiwa terakhir itu hilang begitu saja, yang makin mencuat adalah Ponari dengan batu 'ajaib'-nya itu. Warga terus berdatangan mencari kesembuhan. Bahkan mereka bernggapan, semua yang berhubungan dengan Ponari adalah 'sakti' dan bisa mengobati berbagai penyakit. Tanah dan comberan yang terdapat di sekitar rumah Ponari, menjadi rebutan 'pasien' yang berdatangan itu. Lebih dari itu, air bekas mandi Ponari pun diperebutkan kemudian diminum demi kesembuhan.

Warga terus berdatangan, walaupun praktik pengobatan Ponari ditutup dan dihentikan. Mereka justru berani melawan petugas yang berusaha menghalangi dan memberikan pengertian. Itulah yang terjadi pada anak negeri ini. Ponari menjadi kehilangan haknya sebagai anak: belajar, bersekolah dan bermain.

Berdasarkan tiga peristiwa itu muncul berbagai pertanyaan. Di antaranya: "Kenapa begitu mudahnya orang mempercayai hal yang irasional itu? Apakah ada sesuatu yang tidak beres menimpa anak negeri ini. Dua pertanyaan itu sangat mengusik dan kita harus mendapatkan jawabannya.

Di zaman yang serba canggih sekarang, ilmu pengetahuan yang makin berkembang dan maju, tapi masih ada orang yang percaya kepada hal yang unlogic, irasional. Ironis memang. Di saat warga lain di dunia ini terus 'berlari' mengejar kemajuan, di sebagian wilayah negeri ini masih mempercayai hal yang sama sekali tidak bisa diterima akal sehat. Memprihatinkan.

Kalau memang batu 'ajaib' milik Ponari itu dipercaya bisa menghilangkan dan menghalau berbagai penyakit dari tubuh manusia, kenapa Ponari yang harus dikorbankan. Ponari dibiarkan tidak masuk sekolah, tidak diizinkan mengisi masa kanak-kanaknya dengan bermain dan belajar. Seharusnya bukan Ponari yang mencelupkan batu itu ke air, tetapi orang lain yang melakukannya. Tetapi kalau Ponari yang dianggap 'sakti' bisa melakukan pengobatan, kenapa harus berebut mengambil tanah dan comberan di dekat rumah Ponari serta air bekas mandi Ponari dijadikan obat. Benar-benar sebuah pemikiran yang berada di luar akal sehat.

'Fenomena' Ponari atau kasus lain yang serupa, menunjukkan kepada bahwa masyarakat kita sudah kehilangan akal sehat. Mereka tidak bisa menggunakan akal dan pikiran yang normal untuk mencerna apa yang sesungguhnya terjadi.

Terlepas dari ketidaksanggupan pemerintah memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakat, seharusnya kita tak boleh percaya begitu saja kepada semua hal yang tidak mungkin bisa diterima oleh akal. Bukankah manusia adalah makhluk sempurna ciptaan Yang Kuasa Allah SWT.

Hanya manusia diberikan akal oleh Sang Pencipta. Akal itu seharusnya dipergunakan selama manusia hidup dunia. Akal itu pula yang bisa membedakan dan memutuskan sesuatu yang baik dan mendatangkan manfaat bagi kehidupannya, atau sebaliknya. Apakah mungkin, sebongkah batu bisa menyembuhkan orang dari sakit. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus menggunakan akal.
Selengkapnya...