Selasa, 19 Februari 2008

Ampera Masa Kini

BUBARKAN PKI, bubarkan Kabinet 100 Menteri dan turunkan harga. Itulah tiga tuntutan rakyat dikenal dengan Tritura, yang disampaikan seluruh Rakyat Indonesia kepada Ir Soekarno sebagai Priesiden RI. Tritura itu disampaikan kepada Presiden melalui aksi demonstrasi mahasiswa di seluruh Tanah Air, 42 tahun lalu tepatnya pada 1966. Tak terkecuali di Kalsel.

Hasil nyata dari perjuangan pemuda dan mahasiswa itu adalah gugurnya Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI, pada 24 Februari 1966. Menyusul Hasanuddin Haji Madjedi, mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam, yang gugur pada 10 Februari 1966, 14 hari sebelumnya, dalam aksi serupa di Banjarmasin. Berbeda dengan Arief, sampai saat ini Hasanuddin belum dinyatakan sebagai Pahlawan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) oleh pemerintah.

Dalam Tap MPRS RI No XXIX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera, hanya menyebutkan nama Arief Rahman Hakim yang gugur pada 24 Februari 1966 dan lima korban lainnya. Nama Hasanuddin HM tidak dicantumkan dalam ketetapan tersebut, padahal dia kembali ke pelukan Ibu Pertiwi 14 hari sebelum Arief. Untuk itulah berbagai kalangan di daerah ini khususnya Komponen Angkatan 1966, mengusulkan kepada Pemerintah RI untuk menetapkan Hasanuddin HM sebagai Pahlawan Ampera.

Usulan pengakuan itu tidak terlalu berlebihan, justru sangat wajar. Sebab, Hasanuddin adalah korban pertama dalam aksi memperjuangkan kepentingan rakyat pada 42 tahun silam itu. Usulan itu merupakan wujud dari penghargaan kita kepada pahlawannya. Sebagaimana pernah disampaikan salah seorang presiden AS: Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pahlawannya. Walaupun kita tahu, sang pahlawan tidak pernah sama sekali untuk minta dihargai.

Kembali ke Hasanuddin. Mahasiswa sekarang, hampir tidak mengenal siapa Hasanuddin HM selain sebagai nama jalan, masjid dan gelanggang olahraga di Banjarmasin. Dulu, sampai era 1970-an, mahasiswa baru dikenalkan pada kehidupan kampus termasuk tentang sosok Hasanuddin beserta keberanian dan aksi yang dilakukannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal itu merupakan rangkaian kegiatan 'penerimaan' mahasiswa baru oleh 'pendahulu'-nya, melalui kegiatan plonco dan posma (pekan orientasi mahasiwa baru). Pada masa itu, mahasiswa mengadakan upacara peringatan di makam Hasanuddin. Kini, peringatan itu dilakukan IKA dalam rangkaian kegiatan yang salah satunya adalah napaktilas Hasanuddin.

Terlepas dari penghargaan sebagai Pahlawan Ampera, semangat dan keberanian Hasanuddin beserta mahasiswa dan pemuda lainnya masa itu harus tetap bersemayam dalam diri pemuda dan mahasiswa masa kini. Dulu, Ampera yang diperjuangkan mahasiswa ada tiga (bbarkan PKI, Bukarkan Kabinet, Turunkan Harga) dalam memperjuangkan kepentingan dan ksejahteraan rakyat.

Dalam konteks kekinian, rakyat kita berada dalam banyak penderitaan dari akibat bencana alam sampai masalah sosial dan ekonomi. Tingginya harga kebutuhan pokok dewasa ini, membuat masyarakat (bangsa) kita semakin terpuruk dalam kemiskinan. harga kebutuhan pokok yang tinggi dan tak terjangkau masyarakat berpenghasilan kecil, membuat mereka kehilangan daya beli. Belum lagi angka penganggguran yang semakin tinggi, karena semakin menyempitnya kesempatan kerja. Sumberdaya manusia kita yang rendah, karena pendidikan di negeri ini merupakan barang supermewah. Bangsa kita yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan, tak kuasa menjangkaunya.

Belum lagi penderitaan rakyat kita akibat bencana alam seperti tsunami, banjir. tanah longsor. Korban Lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum tuntas ditangani, justru daerah terdampak semakin meluas. Artinya, korban pun bakal semakin bertambah.
Semua itu merupakan Amanat Penderitaan Rakyat kita di zaman sekarang. Kita sebagai generasi muda bangsa yang besar ini, harus turut bertanggung jawab dalam memecahkan semua persoalan itu. Semoga semangat Hasanuddin memberikan solusi terbaik bagi kita, untuk membantu bangsa ini keluar dari segala penderitaan yang terus mendera.

Selengkapnya...