Rabu, 03 Desember 2008

Malu Berbahasa Indonesia

TAHUN 2008 ditetapkan sebagai Tahun Bahasa, dan Oktober adalah Bulan Bahasa. Di tahun ini pula diadakan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta, malah bertaraf internasional. Kongres bertema Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa itu, merupakan upaya mengangkat peran bahasa dan sastra dalam membangun manusia Indonesia sebagai generasi penerus yang cerdas, bermutu dan berdaya saing dalam memasuki tatanan baru pada 2015.

Kita menyadari sepenuhnya, Bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu dan perekat bangsa. Itu dibuktikan pada saat anak bangsa ini merebut kekuasaan dari penjajah negeri dan negara ini, 63 tahun silam.

Bagaimana nasib bangsa dan negeri ini, seandainya poin ketiga dari Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928 ini tak ada? Poin ketiga dari Sumpah Pemuda itu adalah, menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia.

Anak negeri dari berbagai suku dan etnis dengan beragam bahasa, bersatu melawan penjajah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Indonesia pun merdeka dari penjajahan fisik, pada 17 Agustus 1945 dan kita nikmati sampai sekarang.Kini, kepiawaian Bahasa Indonesia memudar.

Generasi sekarang khususnya anak muda malu menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Mereka lebih senang menggunakan bahasa 'asing' yang menurut mereka sebagai bahasa gaul. Sungguh Ironis.

"Kami malu berbahasa Indonesia, karena selalu diolok-olok oleh teman," kata seorang siswa salah satu madrasah aliyah di Banjarmasin. "Tiap kali kami berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, teman-teman selalu mengolok-olok dengan kata pina musti bepander Bahasa Indonesia, padahal makan lawan iwak karing (sok aksi berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, padahal makan pakai ikan kering/asin, Bahasa Banjar, Red)" katanya di acara Temu Wicara Kebahasaan dan Kesusastraan di Mahligai Pancasila, beberapa hari lalu.

Alasan itulah yang membuat generasi sekarang khususnya ABG, menjadi malu berbahasa Indonesia apalagi memakai bahasa ibu (daerah)-nya sendiri. Mereka lebih suka menggunakan kata gua untuk mengganti saya/aku, dan elu untuk Anda/kamu atau ikam (Bahasa Banjar, Red) yang mereka sebut sebagai bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari.

Mereka mengadopsi bahasa yang biasa dipergunakan dalam sinetron (sinema elektronik), yang tiap hari ditayangkan oleh seluruh stasiun televisi di negeri ini.

Teori penggunaan Bahasa Indonesia yang benar dan baik, saat ini masih merupakan wacana. Dalam hal ini, berbahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah dan baik menurut situasi. Buktinya, anak muda kita lebih suka menggunakan bahasa gaul menurut mereka. Padahal kalau mau jujur, bahasa yang mereka pergunakan itu adalah bahasa salah satu daerah di negeri ini. Sementara bahasa daerahnya sendiri 'dilupakan'.Jadi wajar, sejumlah bahasa daerah dari 746 bahasa daerah yang tumbuh dan dimiliki negeri ini terancam punah. Bahkan, konon, ada yang hilang karena tak ada lagi penuturnya.

Menyedihkan memang. Bangsa Indonesia sebagai pemilik yang asli, justru malu menggunakan bahasa sendiri yang tumbuh dan berkembang di negeri sendiri. Bahkan kebanyakan elit kita pun, lebih suka menggunakan bahasa asing yang dicampur dengan Bahasa Indonesia baik dalam percakapan hari-hari maupun pidato resmi.

Sementara itu, banyak orang asing yang justru mempelajari kebudayaan dan Bahasa Indonesia.Kalau demikian keadaannya, maka jangan marah apabila suatu hari nanti ada negara atau bangsa lain yang mengklaim Bahasa Indonesia sebagai bahasa negaranya. Sebagaimana yang terjadi selama ini, seperti pembajakan lagu daerah Indonesia oleh negara tetangga. Atau tempe yang diklaim Jepang sebagai miliknya melalui hak paten. Itu akibat dari kita yang tidak menghargai, mencintai dan menjaga milik sendiri.
Selengkapnya...