Jumat, 17 April 2009

pengabaian hak warga negara

Ditulis selasa 150409ima

Pengabaian Hak Warga Negara
Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Setiap warga Indonesia juga berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang diselenggarakan di negeri ini. Asal, memenuhi persyaratan yang diamanatkan undang-undang antara lain mengenai usia.
Apabila warga negara bersangkutan berusia minimal 17 tahun, maka dia berhak memilih wakilnya untuk duduk di parlemen. Hal itu diamanatkan oleh Pasal 1 ayat 22 UU nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bahwa pemilih adalah adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Hal itu diperjelas Bab IV Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU yang sama. Bahwa, (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih; (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Untuk bisa menggunakan hak memilihnya, yang bersangkutan harus terdaftar sebagai pemilih. Hal ditegaskan oleh Pasal 20 yang menyatakan bahwa, untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
Sedangkan untuk bisa dipilih sebagai anggota DPD maupu DPR dan DPR, warga negara bersangkutan harus berusia minimal 21 tahun. Sebagaimana ditegaskan dalam UU yang sama Bagian Kedua (peserta pemilu anggota DPD) Pasal 12 huruf a, yang mengatur tentang usia calon anggota yakni Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Begitu juga untuk menjadi anggota DPR atau DPRD, yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a. Pasal tersebut menyatakan bahwa: Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tersebut yang merupakan penjabaran dari UUD 1945, sangat terang dan jelas siapa saja warga negara yang memilih dan dipilih. UU itu pula yang menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009, pada 9 April lalu. Mengacu kepada peraturan tersebut, pelaksanaan Pemilu 2009 yang kini dalam tahap penghitungan suara sebenarnya tidak sulit khususnya yang berkaitan dengan pemilih dan orang yang dipilih. Ternyata, pelaksaan di lapangan tidak sesederhana yang diduga.
Protes baik sebelum maupun sesudah hari pelaksanaan, bermunculan. Untuk mereka yang akan dipilih (calon anggota), tidak ada persoalan. Menjadi masalah adalah warga negara yang berstatus sebagai pemilih, berusia 17 tahun atau telah menikah. Sejumlah --bahkan mungkin ribuan-- warga yang berhak memilih, ternyata tidak bisa memberikan suaranya dalam Pemilu 2009 lalu. Bahkan, dalam satu keluarga yang bisa memberikan suaranya dalam pemilu hanya anak dan istri. Sementara si suami tidak mendapat undangan untuk menyalurkan suaranya.
Sampai pada hari pemilihan, mereka tidak mendapat panggilan oleh negara (pelaksana pemilu). Nama mereka juga tidak terdaftar sebagai pemilih. Hak mereka sebagai warga negara diabaikan, atau ada kemungkinan tidak diakui sebagai warga negara. Padahal mereka tak pernah lalai melaksanakan kewajibannya, antara lain membayar pajak. Artinya, mereka 'dipaksa' untuk menjadi Golput atau digolputkan.
'Penggolputan' itu juga dialami oleh sejumlah wartawan di daerah ini. Pada Pemilu 2004 lalu, wartawan bisa menyalurkan suaranya di TPS tempatnya melakukan tugas liputan hanya dengan menunjukkan kartu pers. Namun dalam Pemilu 2009 lalu, hal itu tidak berlaku.
Akibat dari 'penggolputan' itu, tidak mengherankan Golput yang memenangi Pemilu 2009. Kemenangan itu berasal dari warga yang memang benar-benar memilih untuk tidak memilih, dan itu merupakan bagian dari demokrasi. Ditambah, oleh warga yang digolputkan. Dalam arti, warga yang ingin memberikan suaranya tapi namanya tidak dimasukkan dalam DPT.
Memang ada 'kebijakan' dari penyelenggara bahwa yang tidak mendapat undangan memilih, bisa datang ke TPS dan mengecek namanya di DPT. Masalah baru muncul di situ, sebab tidak menutup kemungkinan pemilih yang namanya tidak masuk DPT bisa memberikan suaranya dengan menggunakan nama orang lain yang kebetulan tidak menerima undangan datang ke TPS untuk menyalurkan suaranya. Indikasi ke arah itu, memang ada.
Oleh karena itu, semua warga negara Indonesia harus siaga untuk memutus kemungkinan terjadi kecurangan pemilu pascapemilihan yang kini dalam tahap penghitangan suara.



Selengkapnya...

tiga hari menegangkan

Tiga Hari
Hari ini, seluruh wilayah di Indonesia bersih dari segala macam atribut partai peserta Pemilu 2009. Kecuali, bendera partai di depan kantor/sekretariat partai masing-masing. Itu artinya, sejak hari ini sampai hari H pemilihan wakil rakyat (DPR RI, DPRD dan DPD), tidak dibenarkan ada atribut partai dan foto calon anggota DPD terpasang. Kalau masih ada, berarti itu pelanggaran undang-undang oleh partai dan calon DPD.
Minggu kemarin, 5 April, merupakan hari terakhir kampanye terbuka bagi seluruh partai peserta pemilu dan calon anggota DPD. Seluruh partai peserta yang mendapat jatah kampanye terbuka pada hari itu, mempergunakan hari terakhir itu dengan sebaik-baiknya karena kesempatan untuk berkampanye tidak ada lagi.
Sejak hari ini, hari H pencontrengan tinggal tiga hari yaitu sebagai masa tenang. Masa tiga hari itu, bisa dipergunakan oleh Panwaslu untuk membersihkan atribut yang tersisa karena tak sempat diambil oleh 'pemilik'-nya. Dengan demikian, pada hari pemilihan seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali Banjarmasin benar-benar bersih dari segala macam atribut dan tanda partai.
Sebagaimana dikatakan Kepala Bidang Hubungan Antarlembaga Badan Kesbanglinmaspol Kota Banjarmasin, Ferinisal, bahwa pihaknya akan membersihkan seluruh atribut parpol dan caleg serta calon DPD yang tersisa. Mereka akan 'membersihkan' jalan protokol terlebih dahulu seperti A Yani kilometer 1 sampai 6, Jalan Lambung Mangkurat, Antasari, Kayutangi, S Parman. Sedangkan jalan di kecamatan akan 'dibersihkan' oleh petugas kecamatan. Untuk melakukan semua itu, mereka membutuhkan waktu sekitar tiga hari sehingga Kota Banjarmasin benar-benar 'bersih'. Walaupun pembersihan atribut partai/caleg dan calon DPD itu adalah tanggung jawab mereka amsing-masing.
Tiga hari masa tenang itu, tanpa hiruk pikuk kampanye atau kegiatan lain untuk menarik simpati rakyat. Tiga hari yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk merenungi semua yang dilakukan dan diberikan partai/caleg dan calon anggota DPD kepada konstituen. Selanjutnya masyarakat khususnya penduduk yang memiliki hak pilih, memikirkan siapa yang bakal mereka contreng nanti di hari H 9 April 2009.
Persoalannya sekarang, apakah semua penduduk yang memiliki hak pilih (hak untuk memilih wakilnya melalui pesta rakyat Pemilu 2009) namanya sudah termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Banyak yang menyangsikan dan bertanya-tanya, apakah namanya sudah dimasukkan dan DPT tersebut. Masalahnya, surat undangan untuk memilih diserahkan oleh pelaksana pemilu pada tiga hari sebelum hari pemilihan. Itu berarti, pemilih akan menerima surat undangan dimaksud pada hari ini, Senin (6/4).
Tiga hari terlalu singkat untuk mengklarifikasi nama pemilih dan meminta penjelasan, kalau pada Senin (6/4) mereka tidak menerima undangan mencontreng untuk memberikan suara. Memberikan suara dalam tiap pemilihan, adalah hak rakyat yang mempunyai hak pilih (memilih dan dipilih). Itu belum termasuk, kalau mereka sejak Senin sampai Rabu (6/4 - 8/4) tidak berada di tempat sehingga mereka tidak mengetahui apakah telah menerima undangan untuk datang ke TPS pada hari pemilihan atau tidak.
Kalau hal itu yang terjadi, maka tidak menutup kemungkinan bisa menambah panjang daftar golput (golongan putih, bukan golongan penerima uang tunai). Tidak menutup kemungkinan pula pemilu kali ini dimenangkan oleh Golput, yaitu golongan orang yang benar-benar tidak menggunakan hak pilih atas kesadarannya sendiri.



Selengkapnya...