Senin, 24 Maret 2008

Subsidi


SELAMA ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga, ibu rumah tangga yang selalu menjadi korban. Di saat harga bahan kebutuhan pokok melonjak tajam, ibu rumah tangga yang pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana mengelola keuangan keluarga agar bisa cukup memenuhi keperluan rumah tangganya. Di saat salah satu kebutuhan pokok yakni minyak tanah langka, ibu rumah tangga bertambah repot. Mereka rela antre ber jam-jam dan di bawah terik matahari hanya untuk mendapatkan jatah minyak tanah, itu pun paling banyak hanya lima liter.

Penderitaan 'pengelola' keuangan rumah tangga itu, sepertinya tidak akan pernah berakhir. Kini, mereka terutama pengguna elpiji sebagai pengganti minyak tanah kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar gas itu. Kalau pun ada, harganya melambung. Untuk satu tabung isi 12 kilogram, sekarang harganya Rp 5.000 sampai Rp 10.000 lebih mahal dibanding sebelumnya. Artinya, ibu rumah tangga pengguna elpiji harus berusaha sekuat tenaga mengelola keuangannya agar cukup memenuhi kebutuhan keluarga, minimal untuk satu bulan.

Sulitnya mendapatkan elpiji itu sebenarnya dirasakan sejak Maret lalu, dan tidak hanya di daerah ini melainkan juga di beberapa daerah lain di luar Kalimantan di antaranya Malang, Jawa Timur. Ratusan ribu Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di wilayah kabupaten itu terancam bangkrut, akibat tersendatnya pasok minyak tanah dan dan elpiji. Salah satu penyebabnya adalah Pertamina sebagai 'penguasa' penyaluran berbagai jenis BBM dan gas mengurangi pemasokan, selain penyimpangan penjualan akibat disparitas harga.

Akibat disparitas harga itu yang cukup tajam itu, membuat industri ikut industri membeli elpiji untuk rumah tangga (12 kilogram) demi kelangsungan aktivitasnya. Harga elpiji rumah tangga antara Rp 68.000 - Rp 75.000 di tingkat eceran, sedangkan elpiji industri (isi 50 kilogram) Rp 475.000 - Rp 500.000.

Lebih dari itu, kelangkaan berbagai jenis bahan bakar minyak --selama ini premium, solar, minyak tanah)-- dan naiknya harga barang khususnya kebutuhan pokok manusia, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Kebijakan mengurangi bahkan mencabut subsidi atas BBM dan gas, menjadi pemicunya.

Selama ini, kita terlena dengan berbagai subsidi. Akibatnya, begitu ada kebijakan pemerintah mengurangi atau mencabut subsidi, kita pun menjadi kelabakan. Konversi minyak tanah ke elpiji, juga ada kaitannya dengan subsidi. Di saat rakyat siap beralih ke elpiji, justru yang terjadi sebaliknya. Ternyata pemerintah belum siap. Buktinya, elpiji pun sulit didapat.

Memang, tujuan pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat adalah mengurangi dan meringankan beban yang harus dipikul rakyat kecil. Tapi melihat fakta di lapangan selama ini, subsidi yang diberikan itu tidak tepat sasaran. Subsidi khususnya untuk BBM, lebih banyak dinikmati oleh warga yang berkecukupan bahkan berlebihan. Sementara rakyat kecil, tetap hidup dalam serba kekurangannya dan sangat sedikit bisa menikmatinya walaupun subsidi itu diperuntukan bagi mereka.

Penyelewengan subsidi, pun sering terjadi. Itu bukti, pemerintah kita tidak memiliki konsep yang jelas dalam memecahkan masalah yang melanda anak bangsa ini. Sebaiknya, subsidi tidak perlu diberikan. Kalau memang ingin menyejahterakan rakyatnya, pemerintah harus memiliki cara lain. Di antaranya menciptakan lapangan pekerjaan. Saat ini, jumlah penduduk yang tidak memiliki pekerjaan sangat banyak dan cenderung meningkat. Mereka lebih banyak yang menjadi 'penonton' di negeri sendiri. Padahal mereka adalah tenaga kerja produktif, dan kita sangat yakin mereka bisa mengelola kekayaan alam negeri ini yang melimpah. Kalau memiliki pekerjaan yang tetap, otomatis mereka berpenghasilan tetap yang jumlahnya bisa meningkat sewaktu-waktu. Ibu rumah tangga pun tidak akan panik lagi memikirkan mahalnya harga kebutuhan pokok. Pemerintah pun tidak lagi mengeluarkan berbagai kebijakan tentang subsidi.

Adalah sangat menyedihkan, di negeri kita yang kaya raya ini, tetapi sebagian besar rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan ada yang kelaparan dan meninggal di dalam kemiskinannya. Ini yang harus ditangisi Presiden kita.
Selengkapnya...

Jumat, 07 Maret 2008

Sertifikasi dan Kualitas Pendidikan


KONDISI pendidikan di negeri ini, masih sangat memprihatinkan. Itu terutama menyangkut pengajarnya, yang tidak fokus dalam melaksanakan tugas dan kewajiban mereka. Perhatian mereka terbagi, antara tugas dan kewajiban dengan kesejahteraan. Di satu sisi mereka berusaha untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik, di sisi lain mereka harus memikirkan kesejahteraan keluarganya. Itu sebabnya, tidak jarang kita menemukan pengajar yang melakukan pekerjaan sampingan: mengojek, misalnya. Itu dilakukan, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Sejumlah pakar pendidikan mengemukakan, profesi guru dan dosen adalah jabatan karir sepanjang hayat yang memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak. Tidak semua orang dapat melakukannya. Di tangan merekalah, nasib bangsa ini berada. Pendidikan yang baik, jelas menghasilkan SDM yang baik pula. Itu sebabnya, setelah Jepang luluh lantak oleh bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kaisar adalah: "Berapa orang guru yang tersisa?" Itu menandakan, nasib sebuah bangsa ada di tangan guru. Itu pula yang membuat Jepang bangkit dari kehancurannya dalam waktu yang relatif singkat.

Itu di Jepang. Namun Kalau menengok ke belakang, pengajar (guru dan dosen) kita memang tidak memiliki standar yang jelas. Contoh, guru Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah lulusan SD/MI. Guru Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah (SMA/MA) adalah lulusan SMA/MA. Belum lagi masalah kekurangan guru dan pemerataan penempatannya, terutama yang ditugaskan di daerah. Begitu juga dengan dosen program sarjana (S-1) adalah mereka yang lulusan S-1. Seharusnya, pengajar adalah minimal setingkat di atas orang diajar dan profesional di bidangnya sehingga out put-nya tidak mengecewakan. Itu semua membuat pendidikan kita, bagai jalan di tempat.

Profesionalisme itu yang kini dituntut dari pengajar di semua tingkat pendidikan. Salah satu kriteria profesional itu adalah keterampilan/keahlian tertentu. Memenuhi tuntutan itu, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang disahkan Presiden Yudhoyono pada 30 Desember 2005. UU itu mengatur tentang kriteria dan standar yang jelas bagi guru dan dosen.

UU tersebut memberikan angin segar bagi profesi guru dan dosen, yang korelasinya adalah peningkatan kesejahteraan mereka. Lebih utama lagi, meningkatkan kualitas pendidikan kita. Melalui UU itu pula, guru dan dosen yang profesional, berkualifikasi akademik dan berkompetensi dapat terwujud.

Berdasarkan UU itu, pengajar yang profesional dan berkualitas adalah memiliki sertifikasi. Dalam hal ini sertifikasi pendidikan yang diberikan kepada pendidik/pengajar (guru dan dosen). Sertifikasi tersebut merupakan bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya perguruan tinggi di daerah ini, Unlam menyertakan sejumlah dosennya dari berbagai fakultas untuk mendapatkan sertfikasi secara nasional. Dari sekitar 1.000 dosen yang dimiliki Unlam, diperkirakan perguruan tinggi tertua di Kalsel ini memiliki 90 dosen yang besertifikasi.

Memiliki dosen besertifikasi, bukan hal yang mudah. Harus melalui penilaian dan proses yang panjang serta benar-benar selektif. Namun apa pun alasannya, melalui sertifikasi itu kita membangun dosen juga guru yang profesional.

Bagi pengajar lulus sertifikasi, maka yang bersangkutan dinyatakan profesional. Dengan demikian dia berhak mendapat tunjangan atau tambahan penghasilan sesuai kepangkatannya sebagai pengawai negeri. Diprogramkan, pada 2010 nanti seluruh guru dan dosen lulus sertifikasi. Maka, mereka yang berjuluk 'pahlawan tanpa tanda jasa itu' menjadi benar-benar profesional dan lebih sejahtera.

Dengan demikian, tidak ada lagi pengajar yang melakukan kerja sampingan untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarganya. Lebih penting, perhatian mereka pun terfokus hanya kepada tugas dan kewajiban karena mereka tak perlu lagi memikirkan ksejahteraan hidup keluarganya. Akhirnya, pendidikan kita benar-benar berkualitas.

Selengkapnya...

Selasa, 04 Maret 2008

Hindari Pembajakan Karya Cipta


PERSATUAN Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Daerah Kalimantan Selatan, terbentuk beberapa hari lalu dengan ketuanya Hesly Junianto. Kepengurusan wadah berkumpulnya seniman di Kalsel itu, dikukuhkan pada Rabu malam lalu oleh Ketua Umum PAPPRI Dharma Oratmangun di Restoran Grand Palace.

Banyak harapan masyarakat khusus seniman di daerah ini diletakan di pundak organisasi tersebut. Di antaranya mengayomi dan melindungi karya cipta seniman kita khususnya di semua bidang seni sesuai keahlian masing-masing.

Memang, usai pengukuhan pengurus PAPPRI Kalsl itu, ketuanya Hesly menegaskan, dengan lahirnya PAPPRI Kasel maka hasil karya cipta seniman Banjar bakal terayomi. Selain itu, PAPPRI diharapkan bisa lebih memotivasi insan seni di daerah ini untuk terus berkarya.

Sebagaimana dikatakan Dharma, PAPPRI didirikan untuk melindungi hak kekayaan intelektual dan karya bangsa terutama di bidang seni. Berkat PAPPRI juga, akhirnya Lagu Rasa Sayange karya anak negeri ini kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah beberapa saat sempat diakui Malaysia sebagai milik mereka. Dengan sejumlah bukti tertulis dan otentik yang ditunjukan PAPPRI, akhirnya Malaysia mengakui Lagu Rasa Sayange adalah karya asli dan milik Rakyat Indonesia.

Karya cipta itu sangat mahal. Lihatlah, Bangsa Jepang sangat peduli pada sebuah ciptaan. Apa pun dilakukannya untuk melindungi ciptaan rakyatnya. Bahkan cara pembuatan tempe pun --yang sebenarnya tempe adalah makanan asli Indonesia dan awalnya dibuat oleh anak negeri Indonesia-- dipatenkan oleh Jepang sebagai miliknya.

Bagaimana dengan kita, Rakyat Indonesia? Kenapa sesuatu yang diciptakan oleh anak negeri ini, begitu mudah dibajak orang lain, bahkan oleh bangsa lain. Itu karena, kita kurang peduli pada 'pemeliharaan' sesuatu yang kita ciptakan itu. Kita merasa cukup bangga berhasil menciptakan sesuatu, tanpa sempat atau lebih tepatnya tidak memikirkan bagaimana 'memeliharanya'. Kalaupun mereka mencoba dan berusaha melindungi karya ciptanya dengan mengajukan Hak Paten, tapi urusannya yang dinilai berbeli-belit. Lebih utama lagi, karena biaya untuk mamatenkan karya cipta itu dinilai sangat tinggi sehingga tak terjangkau oleh sebagian pencipta. Itulah kelemahan kita. Belum lagi pemerintah kita yang terkesan kurang memperhatikan dan melindungi ciptaan rakyatnya. Setelah terjadi pembajakan, baru ribut dan saling menyalahkan.

Karya Cipta yang termasuk dalam Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) itu, jangan dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Untuk diketahui, HKI berasal dari hasil kegiatan atas kemampuan daya pikir manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan termasuk seni dan sastra dalam berbagai bentul yang diekspresikan kepada khalayak. Lebih dari itu, hasil kreativitas itu bermanfaat dalam menunjang kehidupan manusia.

Hasil kegiatan dalam kreativitas Rakyat Indonesia itu dilindung dalam sebuah peraturan perundang-undang negeri ini, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 1 ayat 1 UU tersebut menyatakan: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10 ayat (1) UU yang sama menyebutkan: Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2)-nya menyebutkan: Negara memegang Hak Cipta atas forklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.

Dari sini jelas, karya cipta itu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan kita terutama bagi penciptanya. Kini saatnya kita untuk lebih peduli dalam 'memelihara' karya cipta. Kita berharap birokrasi memberi kemudahan kepada kita untuk mematenkan karya cipta termasuk di bidang seni dan budaya, agar kasus pembajakan Lagu Rasa Sayange tidak terulang kembali.

Lebih jauh, PAPPRI terutama PAPPRI Kalsel bisa menjembatani anggotanya dan seniman daerah ini khususnya untuk mematenkan karya mereka sebagai upaya melindungi karya cipta tersebut. Tujuan utamanya, menghindari tindakan pembajakan oleh orang yang ingin mengambil keuntungan atas kreativitas orang lain.
Selengkapnya...

Senin, 03 Maret 2008

Panorama Tanjung Puting VI
Curi Makanan, Hancurkan Rumah


ORANGUTAN di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting yang masih dalam proses peliaran, cukup jinak. Tapi kalau mereka marah, nyaris tidak ada yang berani mendekati.

"Kekuatan seekor orangutan, sama dengan lima kekuatan lelaki dewasa," kata Sugeng. Kekuatan orangutan berada di tangannya. Apabila dia memegang sesuatu atau orang, sangat sulit untuk dilepaskan.

Rumah ranger di tiga camp --Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, Leaky-- di TNTP tidak ada yang utuh. Semuanya berantakan, pintu dan jendela rusak. Semula memakai kaca, kini seluruhnya diganti dengan kawat.

Antena radio dam peralatan menampung cahaya matahari untuk lisrik tenaga surya, dirusak. Itulah sebabnya, tiga camp itu tidak bisa lagi berkomunikasi menggunakan radio. Begitu juga dinding kaca di Ruang Informasi di Tanjung Harapan, tidak utuh lagi. Itulah sebabnya, ruangan itu selalu dikunci kecuali ada pengunjung yang ingin mencari informasi dan melihat data.

Di saat ranger tidak berada di dalam rumah, meski dikunci mereka bisa masuk dengan merusak pintu atau jendela. Selain 'menyikat' makanan yang ada, juga mengobrak-abrik seluruh isinya sehingga berantakan.

"Biasanya, mereka masuk rumah untuk mencuri makanan," kata Andreas --ranger di Camp Leaky. Meski mereka baru saja diberi makanan saat feeding. Mereka umumnya mengetahui tempat penyimpanan pisang makanannya, itulah yang utama dituju setiap mereka masuk ke dalam rumah.

Takut disuntik

Senua ranger di TNTP mengetahui kesulitan yang dihadapi orangutan 'asuhannya', terlebih lagi apabila ada yang sakit. Padahal mereka rata-rata tidak pernah mendapatkan pendidikan khusus untuk itu.

Pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh lebih banyak dari pengalaman selama menggeluti dunia orangutan. Oleh karena itu mereka mengetahui dengan pasti penyakit yang diderita 'anak-anaknya' itu.

Dilihat dari gejala yang timbul pada sikap orangutan, kata Meeng, ranger di Pondok Tanggui. Tiap penyakit yang diderita, memperlihatkan gejala yang berbeda. Dari gejala itu, ranger dengan mudah mudah memberikan obat. Tetapi kesulitannya, orangutan sangat takut melihat jarum suntik.

Apabila orangutan melihat petugas membawa alat suntikan, orangutan dengan cepat menyembunyikan diri ke hutan. Meskipun orangutan tersebut sedang sakit dan belum disuntik. Umumnya orangutan selalu memberitahukan kepada semua temannya, tentang peristiwa yang dialami termasuk sakitnya rasa disuntik.

Menurut beberapa ranger, penyakit yang kebanyakan menyerang orangutan adalah pilek, batuk, kudisan dan sesak nafas. Tetapi, semua ranger sudah disiapkan untuk mengantisipasi hal itu dengan persedian sejumlah obat untuk berbagai jenis penyakit.

Apabila orangutan yang sakit itu tidak berhasil disembuhkan, petugas akan membawanya ke Klinik Satwa yang ada di Tanjung Harapan untuk menjalani perawatan yang lebih intensif.

Kepala TNTP Herry Djoko Susilo tidak membantah ketika ditanyakan tentang matinya beberapa orangutan, meskipun lebih kecil angkanya dibandingkan dengan yang berhasil diliarkan.

"Kami tidak menutupi, memang ada beberapa orangutan yang dalam proses peliaran itu mati," katanya, di Kumai.

Penyebabnya, bermacam-macam seperti sakit atau terluka parah setelah berkelahi sesamanya atau dengan binatang liar lainnya yang ada di kawasan hutan TNTP.

Orangutan yang mati itu biasanya tidak dibiarkan begitu saja atau dibuang ke hutan. Melainkan dikuburkan dengan baik di tempat yang disediakan. Di atasnya dipasang nisan berbentuk patung Dayak setinggi sekitar 50 sentimeter.

Jadi, tidak mengherankan apabila di atas sebidang tanah terpancang beberapa patung Dayak dari kayu ulin. Itu adalah kuburan orangutan, seperti yang bisa dilihat di samping rumah dinas ranger di Camp Leaky.
Selengkapnya...

Panorama Tanjung Puting (V)
Proses Peliaran Terkesan Lambat


BERDASARKAN data, orangutan yang menghuni kawasan Taman Nasional Tanjung Puting antara 1.080 sampai 1.800 ekor. Termasuk yang setengah liar dan masih dalam proses peliaran di tiga camp --Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, Leaky.

Di Tanjung Harapan, misalnya. Saat ini terdapat sekitar 200 ekor orangutan dan yang masih dalam proses peliaran hanya empat dari 15, ekor kata Alan, petugas --ranger-- di camp itu.

Sementara di Pondok Tanggui, dari tahun 1993 sampai 1997 tercatat delapan ekor orangutan yang berhasil diliarkan dari 13 yang ditangani oleh Sugeng, Meeng dan Surian.

Namun dalam proses peliaran itu, terkesan lambat. Hampir semua ranger mengaku, dalam upaya meliarkan kembali orangutan itu mengalami hambatan yang walaupun kecil tetapi dinilai cukup mempengaruhi.

Hal itu dibenarkan oleh Kepala TNTP Herry Djoko Susilo. Menurut dia, dalam melaksanakan program peliaran kembali orangutan pihaknya agak kesulitan. Karena terjadi dua kepentingan yang bertolak belakang.

Pihak TNTP berupaya menghutankan kembali orangutan yang terlanjur jinak sesuai dengan program yang ditetapkan, sementara Birute Galdikas yang sangat mencintai orangutan mempunyai kebijaksanaan yang berbeda.

Semua tidak menutup mata, yang mempopulerkan Tanjung Puting adalah Galdikas dengan proyek penelitian orangutan melalui Research and Conservation Project, sejak tahun 1971.

Karena sangat mencintai orangutan, dia seolah tidak 'merestui' program yang dijalankan TNTP. Bahkan, terkesan tidak senang dengan kegiatan yang dilakukan ranger di lapangan. Menurut keterangan, tanpa sepengetahuan petugas dia memberi makan orangutan dengan makanan yang layaknya dikonsumsi oleh seperti nasi, mie dan lainnya, secara sembunyi-sembunyi.

Konon, masa penelitian terhadap orangutan yang diberikan kepadanya sudah berakhir.

Disadarkan orangutan

Terlepas dari semua itu, semua ranger yang bertugas di kawasan TNTP sangat menyenangi bahkan mencintai pekerjaannya.

"Orangutan yang menyadarkan saya selama ini," kata Meeng yang mengaku sangat menyayangi penghuni hutan berbulu panjang dan merah kecoklatan itu.

Semula, kata Meeng yang lulusan SLTP di Kumai itu, sebelum menjadi ranger pekerjaannya adalah menebang kayu di hutan. Karena persediaan kayu semakin sedikit dan hasilnya tidak menentukan, dia berbalik arah dengan melamar ke TNTP sebagai ranger.

Pertama ditugaskan di hutan, rata-rata ranger mengaku risih dan takut karena harus berhadapan dengan orangutan dan binatang liar lainnya yang menghuni TNTP. Tetapi setelah ditekuni, malah mencintai pekerjaan itu dan semuanya benar-benar menjaga kelestarian hutan beserta isinya.

"Saya kini menyadari menebang kayu itu perbuatan yang salah. Orangutanlah yang menimbulkan kesadaran itu, saya menyesal," kata Meeng mengenang pekerjaan dia sebelumnya.

Dia benar-benar mengerti dan menyadari, orangutan serta makhluk hutan lainnya membutuhkan tempat tinggal yakni di hutan. Kalau hutan rusak, kemana mereka harus pergi, kata Meeng. "Seperti kita manusia, kalau rumah kita dirusak tentu kita akan marah. Begitu juga orangutan dan binatang lainnya yang hidup di hutan," katanya.

Walaupun gaji yang diterima ranger besarnya sama yaitu Rp 100.000,00, mereka tetap mencintai pekerjaan itu. Selain itu mereka mendapat jatah makanan seperti beras, ikan, susu, kopi, teh dan sayuran sekali seminggu, yang diantarkan ke tempat tugas masing-masing bersamaan dengan suplai makanan untuk orang utan.

Untuk menambah pendapatan dalam menghidupi keluarga, mereka membuat beberapa benda seni untuk sovenir yang dijual kepada pengunjung seperti patung, sumpit, gelang dan cincin.

Andreas --ranger-- di Camp Leaky, membuat patung orangutan dari kayu ulin yang dibelinya di Kumai. Patung orangutan setinggi sekitar 15 sentimeter, bisa laku 50 dolar AS atau sekitar Rp 115.000,00 apabila dijual kepada wisatawan mancanegara.

Sementara Meeng, Surian dan Sugeng, membuat gelang dan cincin dari serat kayu yang harganya antara Rp 2.000,00 sampai Rp 5.000,00. Tetapi tidak jarang, benda-benda itu hanya diberikan kepada pengunjung terutama yang menamu ke tempat tinggalnya. Membuat satu gelang, dia hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Sementara ngobrol dengan tamu, gelang atau cincin selesai dianyamnya dan diberikannya sebagai kenangan kepada tamu bersangkutan.

Ketiganya mengaku sangat senang apabila banyak pengunjung dan lebih senang lagi bila datang ke tempatnya sambil. Menurut mereka ada kesan tersendiri dan mendalam, apabila tamu berkenan mampir ke rumahnya dan meminum air yang disuguhkan.

"Kami bangga, tamu sudi mampir ke rumah," kata Meeng sambil memasukkan cincin warna hitam karyanya ke jari manis seorang tamu.

Selengkapnya...

Panorama Tanjung Puting (IV)
Tidak Ada Ranger Wanita Kecuali Volunteer

TIADA seorang pun wanita yang ingin menjadi petugas --ranger-- khususnya dalam menangani orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting. Sembilan ranger yang ditugaskan di tiga camp di taman itu, semuanya pria.

Itu wajar. Karena hampir tidak mungkin seorang wanita berdiam di hutan, apalagi mengurus orangutan dan berteriak seperti Tarzan memanggil untuk memberi makan makhluk berbulu panjang berwarna merah kecoklatan itu setiap hari. Belum lagi harus merawat dan mengobati orangutan yang sakit.

Kecuali Emilly, gadis Inggris berusia sekitar 22 tahun yang ditugaskan di Camp Tanjung Harapan di Desa Sekonyer sebagai tenaga sukarela --volunteer -- selama 11 bulan.

Itu pun dia tidak harus berteriak-teriak memanggil orangutan yang ada di camp itu, melainkan lebih pada membantu tiga ranger di tempat itu yaitu Alan, Hendrik dan Masari. Tugas Emilly membantu pekerjaan ringan, seperti memasak dan memberikan informasi kepada pengunjung terutama wisatawan mancanegara.

Itulah sebabnya Emilly menyatakan sangat senang tinggal di hutan. Karena, camp tempat Emilly bertugas itu tidak terlalu jauh dengan kota Kumai --ibukota Kecamatan Kumai-- yaitu hanya 20 kilometer sekitar 1,5 jam perjalanan dengan kelotok atau 0,5 jam dengan speedboat.

Selain itu, di seberang camp adalah pemukiman penduduk Desa Sekonyer dan hanya mendayung perahu kecil sudah bisa ke sana. Di tempat itu ada sekolah dan kantor kepala desa, juga peningapan Ekologde. Jadi tidak terlalu sepi.

Lain halnya dengan Camp Pondok Tanggui sekitar 30 kilometer dari Kumai [tiga jam perjalanan dengan kelotok] atau paling ujung Camp Leaky sekitar 40 kilometer [4,5 jam perjalanan kelotok].

Khusus di Pondok Tanjung, hanya dihuni oleh tiga ranger yaitu Sugeng, Meeng dan Surian. Berbeda dengan di Camp Leaky, meski Andreas --pemuda asal Yogyakarta-- mengurus orangutan bersama dua rekannya, di camp itu banyak penghuninya yaitu karyawan Galdikas yang melakukan penelitian.

Tanjung Harapan merupakan zona pemanfaatan dan dikembangkan untuk kegiatan ekoturisme yang dilengkapi dengan pusat informasi, wisma tamu dan lokasi untuk berkemah. Di camp ini juga dilengkapi fasilitas pemeliharaan kesehatan [klinik] satwa.

Satwa yang sakit terutama orangutan, apabila tidak bisa diobati oleh ranger segera dibawa ke klinik tersebut.

Sedangkan Pondok Tanggui khusus untuk rehabilitasi orangutan, juga merupakan habitat rusa, babi hutan dan berbagai jenis burung. Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan dihubungkan oleh jalan setapak sepanjang sekitar 25 kilometer, yang cocok sekali untuk tracking. Sementara Camp Leaky, semula sebagai areal penelitian sejak tahun 1971 dan selanjutkan difungsikan untuk rehabilitasi orangutan. Di camp ini terdapat orangutan liar dan setengah liar.

Mekanisme kegiatan peliaran kembali orangutan di TNTP adalah, pertama di Tanjung Harapan kemudian dipindah ke Pondok Tanggui dan akhirnya ke Camp Leaky sampai benar-benar liar. Itulah sebabnya, tempat pemberian makanan --feeding-- selalu dipindah semakin masuk ke dalam hutan. Semula dekat kediaman ranger, kemudian terus dipindah sampai semakin jauh ke dalam hutan. Tujuannya, mengenalkan wilayah hutan sebagai tempat tinggal orangutan. Begitu juga tempat tinggal orangutan. Awalnya ditempatkan di dalam kandang selanjutnya 'diajarkan' cara membuat sarang sendiri di atas pohon, dengan cara melepas orangutan itu bergabung dengan yang lain.

Selain tiga camp untuk rehabilitasi, di TNTP juga ada tempat penelitian bekantan --nasalis larvatus. Lokasinya di Natai Lengkuas, sekitar 40 kilometer dari Kumai. Kawasan itu juga merupakan habitat kera abu-abu, rusa dan berbagai jenis burung.

Keempat kawasan itu bisa digunakan untuk tracking melewati jalan setapak yang disediakan.

TNTP juga memiliki objek wisata pantai yang lokasinya tidak berjauhan, yaitu Kubu dan Tanjung Keluang. Pantai Kubu dengan pohon nyiurnya dan rekreasi memancing, Tanjung Keluang dengan pasir putih dan airnya yang bening. Biasanya dijadikan tempat berjemur dan berenang oleh wisatawan.

Terus meningkat

Hampir setiap hari, TNTP menerima kunjungan wisatawan yang sebagian besar dari dalam negeri dan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Khusus kunjungan wisatawan mancanegara, didominasi oleh Amerika serikat.

Dalam tahun 1996 saja wisatawan dari AS tercatat 717 orang, menyusul Inggris 239 pengunjung dan paling sedikit adalah dari Hongkong, hanya satu orang.

Selama kurun waktu tujuh tahun, sejak 1990 sampai 1996, sebagaimana dikatakan Kepala TNTP Herry Djoko Susilo, tercatat 19.023 pengunjung terdiri atas 7.098 wisman dan 11.925 wisnus
Selengkapnya...

Panorama Tanjung Puting (III)
Mandi Sinar Rembulan dan Gemerlap Gemintang

TAMAN Nasional Tanjung Puting memiliki panorama alam yang sangat indah, apalagi di malam hari. Untuk menuju kawasan itu, satu-satunya prasarana transportasi yang dilewati adalah sungai, dengan menggunakan angkutan air berupa kelotok atau speedboat.

Jarak tempuh dari Kumai ke lokasi tidak terlalu jauh dan ke camp paling ujung --Leaky-- hanya 40 kilometer, sekitar 4,5 jam dengan kelotok.

Biayanya pun cukup murah, hanya Rp 75.000,00 per hari dengan kelotok atau Rp 100.000,00 dengan speedboat.

Untuk wisatawan yang ingin menginap, tersedia beberapa penginapan dan wisma tamu. Seperti Ekolodge di Desa Tanjung Harapan di tepi Sungai Sekonyer, yang satu kamar untuk satu malam sebesar tarifnya 50 dolar AS atau Rimba Lodge di desa yang sama. Alternatif lain adalah tidur di kelotok carteran, bagi mereka yang ingin mengubah suasana.

Tidur di atas kapal kecil [kelotok] dan di tengah hutan yang gelap gulita hanya diterangi kelap-kelip kunang-kunang --lampyridae-- benar-benar menyenangkan. Meski udara terasa dingin menusuk tulang, tidak mengurangi keindahan alam yang membentang di depan mata.

Kita bisa mandi sinar rembulan di kala purnama. Atau gemerlap gemintang yang menghiasi cakrawala, sementara bulan belum menampakkan diri dari tempat persembunyiannya di balik awan. Ditingkahi nyanyian hutan yang berasal dari aneka suara binatang penghuninya, sangat enak didengar seperti bunyi Owa-owa.

Kerik jangkrik yang bersahutan, rengekan bayi orangutan ditambah suara binatang malam lainnya dan bunyi arus sungai yang menerpa lambung kapal, menambah suasana malam semakin indah dan benar-benar romantis.

Di kala bangun di pagi hari, kita disambut dengan salam oleh kicauan burung dan sinar mentari serta udara segar tanpa polusi. Beragam jenis ikan terlihat jelas berenang di air sungai. Menikmati sarapan pagi di alam terbuka. Sebuah kehidupan yang menyenangkan.

Kapal yang kita gunakan selama perjalanan dan berada di kawasan TNTP, tidak ubahnya laksana hotel terapung. Nakhoda beserta asistennya yang bisanya sekaligus merangkap sebagai tukang masak, melayani kita dengan baik bagaikan keluarga sendiri.

Madjid, nakhoda KM Satria 02 yang dicarter selama lima hari mengeliling TNTP dan asistennya Haryadi, cukup ramah dan tidak jarang bertindak sebagai penunjuk jalan.

Kami semua mandi di sungai. Tapi bukan Sungai Sekonyer yang kental dan berwarna putih kecoklatan seperti kopi susu, karena di hulunya terjadi pencemaran dari tambang emas yang menggunakan air raksa --mercury-- melainkan Sungai Camp [Sungai Sekonyer Simpang Kanan] menuju Camp Leaky. Airnya bening berwarna hitam, tetapi bersih.

Di sungai itu banyak ikannya tetapi tidak boleh dipancing dan ditangkap dengan alat apapun. Sesuai dengan peraturan yang ditentukan di kawasan TNTP, yaitu harus menaati petunjuk petugas. Ada empat larangan yang diberlakukan yaitu membuat api yang tidak perlu, mengganggu/mengambil satwa dan tumbuhan, membawa cat, senjata api dan tajam serta membuang sampai di sembarang tempat termasuk sungai.

Untuk masuk ke kawasan TNTP, setiap pengunjung wajib memiliki surat izin dan tiket masuk yang dikeluarkan oleh Kantor TNTP di Kumai. Tiket masuk bagi wisatawan yang usianya enam tahun ke atas sebesar Rp 2.000,00 per orang per hari dan bagi pelajar, mahasiswa, dan kader konservasi Rp 1.000,00. Sedangkan bagi setiap kapal kecil Rp 2.000,00 per hari.

Hutan hujan tropis

Tanjung Puting di Kalimantan merupakan hutan hujan tropis terbesar kedua di dunia. Wajar, TNTP merupakan kawasan pelestarian alam yang penting untuk melindungi satwa langka seperti orangutan, bekantan dan Owa-owa.

Kawasan itu juga merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah [lowland tropical rainforest], hutan rawa air tawar [swamp forest], hutan bakau [mangrove forest] dan hutan pantai yang indah. Cocok untuk rekreasi dan penelitian.

Memang TNTP adalah tempat pelestarian dan suaka plasma nuftah, pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan rekreasi.

Sebagai ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, flora TNTP didominasi oleh tanaman produktif jenis meranti [shorea sp], ramin [gonystylus bancanus] dan jelutung [dyera costulata]. Sedangkan di bagian tengahnya didominasi kayu ulin --eusideroxylon zwageri.

Semua jenis kayu itulah yang menjadi incaran penebang liar. Seperti yang ditemui di hari pertama kami berada di kawasan TNTP. Petang di ambang senja, masih terlihat sebuah rakit kayu ditambat di tepi Sungai Sekonyer. Tetapi pagi harinya, rakit itu tidak ada lagi di tempatnya.

Untuk jenis fauna selain keluarga primata, di TNTP masih dijumpai satwa langka endemik lainnya seperti beruang [helarctos malayanus], rusa [cervus unicolor]. Sungainya menyimpan buaya muara [crocodylus porosus] dan buaya sapit [tomistoma schlegelli].

Sedikitnya 220 spesies burung menjadi penghuni TNTP. Di antaranya rangkong [buceros sp] dan raja udang paruh bangau [pelargopsis capensis]. Bahkan burung langka di dunia yaitu storm's stork [ciconia stormi] sejenis bangau, konon hanya ada di TNTP. Enggang yang menjadi lambang daerah Kalteng, beterbangan di udara TNTP.

Selengkapnya...

Panorama Tanjung Puting (II)
Kosasih Raja yang Ditakuti

SEBENARNYA Taman Nasional Tanjung Puting tidak hanya terletak di Kabupaten Kobar, sebagian kawasan itu juga berada di Kabupaten Kotawaringin Timur dalam wilayah Kecamatan Pembuang Hulu, Sembuluh dan Seruyan Hilir.

Tetapi lebih dulu terkenal berada di daerah penghasil kecubung itu, dengan Prof Birute Galdikas dan Rod Brindamour --warga Amerika-- yang melakukan penelitian orangutan di daerah itu pada tahun 1971 melalui Research and Conservation Project.

TNTP kini mempunyai areal seluas 415.040 hektare berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1996 tanggal 25 Oktober 1996. Sebelumnya, Tanjung Puting hanyalah kawasan hutan.

Pada 14 Oktober 1982, Menteri Pertanian mengumumkan kawasan itu sebagai Taman Nasional Tanjung Puting dengan luas areal 355.000 hektare.

Di kawasan itu terdapat lebih dari 600 spesies tumbuhan, 200 spesies [yang diketahui] anggrek, 28 spesies mamalia termasuk bekantan [nasalis larvatus], owa-owa [hylobates muellery] dan kelasi merah [presbytis rubicunda] serta orangutan [pongo pygmeus].

TNTP terkenal karena orangutannya dan layaknya sebuah kerajaan, dengan 'rajanya' bernama Kosasih. Seekor orangutan jantan yang kini berusia sekitar 30 tahun tetapi tenaganya lebih kuat dari enam lelaki dewasa.

Menurut beberapa ranger [petugas lapangan], Kosasih 'memerintah' di TNTP sejak 1992, setelah mengalahkan 'raja' terdahulu Yayat yang kini berusia sekitar 32 tahun.

Dia orangutan terbesar dan terkuat di TNTP. Semua orangutan di sana yang jumlahnya antara 1.080 sampai 1.800 ekor itu sangat takut kepadanya. Bahkan Yayat sendiri yang badannya lebih kecil, apabila bertemu Kosasi selalu menghindar dengan secepat kilat menghilang ke dalam rimbunnya pepohonan.

Karena menjadi 'raja', sangat jarang pengunjung bisa bertemu Kosasih. Bahkan ranger sekalipun. "Dia jarang datang ke camp, kecuali ada keberuntungan baru bisa bertemu Kosasih," kata Alan --ranger-- di Tanjung Harapan. Begitu juga dengan Yayat yang jarang menampakkan diri, karena takut bertemu Kosasih.

Meski demikian, orangutan di TNTP selalu berteman minimal dua ekor walaupun bukan pasangan betina dan jantan. Hal itu sesuai dengan kebiasaan hidup orangutan dalam kelompok kecil.

Yang patut direnungkan dari sisi kehidupan liar orangutan dan sangat menarik adalah pengertian sesama mereka.

Betapapun liar dan ganasnya jantan orangutan termasuk 'raja' Kosasih dan rivalnya Yayat, tidak akan pernah menggangggu betina yang hamil atau menggendong bayi. Seperti sebuah etika yang yang berlaku bagi penghuni rimba yang gerak geriknya mirip manusia itu.

Betina orangutan melangsungkan perkawinan setelah berusia delapan tahun, bersamaan dengan masa disapih oleh induknya. Setelah usia anak terdahulu mencapai delapan tahun, dia bisa hamil lagi. Memang di TNTP ada beberapa anak orangutan yang memiliki ibu, yaitu berasal dari sitaan Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam untuk diliarkan kembali. Itu pun mereka hidup selalu berdua.

Juga ada bayi orangutan yang yatim piatu di Pondok Tanggui. Bayi yang belum memiliki nama itu menjadi anak angkat Rosemary, orangutan betina yang belum pernah kawin meski usianya sudah delapan tahun.

Dalam mengangkat anak, orangutan juga memilih yang bisa diambil --yang tidak punya induk tentunya. Tidak sembarang bayi bisa dijadikan anaknya, yaitu hanya yang benar-benar disenanginya.

Biasanya, orangutan tidak terlalu mengutamakan anak angkatnya. "Itulah susahnya, makanan yang diberikan lebih penting untuk dirinya sendiri. Sementara air susunya tidak ada untuk anak angkat," kata Kepala TNTP Herry Djoko Susilo yang ditemui di ruang kerjanya di Kumai.

Manusiawi

Orangutan di TNTP kelihatan cukup manusiawi. Seolah membenarkan teori Darwin yang menyebutkan manusia berasal dari kera.

Mereka sangat senang kepada setiap tamu yang datang. Tidak jarang, mereka membelai dan bermanja-manja dengan pengunjung. Bukan sebaliknya, dibelai tamu.

Gistok, misalnya. Menuju tempat feeding yang jaraknya cukup jauh di tengah hutan serta harus melangkah di antara pepohonan dan kadang-kadang meloncati pohon yang tumbang atau akar yang melintang, dia bergelayut di tangan dua tamu yang mau tidak mau harus memenuhi permintaannya.

Padahal badannya berat sekali. Tetapi dia tidak mengganggu. Bahkan di saat berjalan di hutan dia memetik bunga, satu dimakannya dan satu lagi diberikan kepada tamu dan menyuruh si tamu untuk memakannya.

"Gistok, urangutan paling bodoh dan manja," kata Surian dan Meeng. Dalam usianya yang delapan tahun itu, dia tidak bisa membuat sarang untuk tempat tinggalnya. Sementara, orangutan lain yang walaupun usianya belum mencapai dua tahun sudah bisa membuat 'rumah' sendiri.

"Bukan bodoh, malah sangat pintar. Gistok kehilangan kemampuan," kata Kepala TNTP Herry Djoko Susilo yang ditemui di ruang kerjanya di Kumai. Karena dia terlalu lama tinggal bersama manusia, sehingga kelakuannya sudah sangat mirip dengan manusia.

Itu wajar. Karena sejak bayi dia tinggal bersama sebuah keluarga di Palangka Raya. Kemudian dia diserahkan ke TNTP untuk diliarkan kembali. Selama sekitar tiga tahun dia menjalani rehabilitasi di Camp Tanjung Harapan, kemudian dipindahkan ke Camp Pondok Tanggui sejak tiga bulan lalu sampai sekarang.
Selengkapnya...

Panorama Tanjung Puting (I)
Teriakan Tarzan Menggema di Tengah Hutan

TANJUNG Puting, sebuah kawasan tanam nasional yang terletak di Kabupaten Kotawaringin Barat Kalteng dan sudah mendunia. Wisatawan mancanegara yang datang ke Kalimantan merasa belum lengkap apabila tidak mengunjungi lokasi rehabilitasi orangutan itu. Bahkan beberapa tahun lalu, sejumlah pakar binatang dari beberapa negara berkumpul di lokasi itu untuk membicarakan dan membahas kera besar dengan segala aspeknya. Wartawan BPost Ida Mawardi, selama lima hari berada di 'rumah' orangutan tersebut dan penjalanan itu dituangkan dalam beberapa tulisan mulai hari ini.

OUU ... ouu ... ouu ....

Raungan ala Tarzan itu, cukup mengagetkan di pagi hari pertama berada di Camp Tanjung Harapan. Rupanya suara itu adalah panggilan bagi orangutan yang akan diberi sarapan.

Beberapa menit kemudian, beberapa orangutan sudah berada menyantap pisang dan minuman susu yang disuguhkan --ranger-- pagi itu. Panggilan makan untuk orangutan di TNTP itu bisa didengar dua kali setiap hari, pagi dan menjelang petang.

"Rosemary, Ansar, Doyok, Gistok, yo ...," panggil Surian dan Meeng --ranger-- menggema di tengah hutan kawasan Camp Pondok Tanggui bergantian sambil berjalan membawa dua ember pisang menuju tempat feeding [pemberian makanan], sekitar dua kilometer dari tempat tinggal mereka.

Teriakan memanggil 'anak asuh' itu juga terdengar di Camp Leaky. Mendengar panggilan khas itu, sejumlah orangutan besar kecil, betina dan jantan, juga beberapa di antaranya membawa bayi yang bergelayut di pundak sang ibu berloncatan dari ranting ke ranting menuju arah suara.

Di tempat asal suara, berkumpul wisatawan mancanegara dan nusantara yang sengaja menunggu kedatangan penghuni hutan TNTP tersebut. Tanpa malu-malu, orangutan --pongo pygmeus-- menyantap jatah makan mereka berupa pisang lilin dan susu.

Tingkah orangutan makan, merupakan pemandangan unik dan menarik. Makhluk hutan berbulu panjang warna coklat kemerahan itu, berebutan mengambil makanan yang disediakan ranger. Sambil makan, mereka bercanda, bergelantungan di dahan membawa pisang. Bahkan ada yang menangis karena tidak kebagian.

Benar-benar pemandangan yang menakjubkan dan bisa dinikmati dua kali setiap hari.

Seekor orangutan betina bernama Frencis yang menjalani peliaran kembali di Camp Leaky, sebelum memakan pisang yang diberikan ranger terlebih dahulu diberikannya kepada bayinya yang bergayut di pundaknya. Tindakan itu cukup menyentuh perasaan. Ternyata orangutan pun lebih mengutamakan anaknya, daripada kepentingan dirinya sendiri.

Seorang wisatawan dari Amerika berdecak kagum melihatnya sambil berguman, "wow ..." dan cepat-cepat mengarahkan handycam-nya ke Frencis.

Feeding dijadualkan dua kali sehari. Pagi dari pukul 07.30 sampai 08.30 dan pukul 14.30 sampai 15.30 dengan menu tetap pisang lilin dan susu. Rata-rata camp menghabiskan tiga karung pisang lilin atau sekitar 700 kilogram dan tiga kaleng Indomilk kering, setiap minggu. Semua makanan dan minuman itu didatangkan dari Kumai dan diantar ke camp setiap Senin.

Bila feeding time tiba, ranger dengan teriakan Tarzannya memanggil 'anak buah' mereka untuk bersantap. Si 'anak' mendengar teriakan 'bapak'nya yang sudah sangat dikenal, dimana pun berada dengan cepat berdatangan.

"Semua orangutan di sini punya nama," kata Meeng, pemuda lajang yang sekitar dua tahun menjadi ranger di kawasan rehabilitasi orangutan TNTP yang ditugaskan di Camp Pondok Tanggui.

Tempat rehabilitasi orangutan di TNTP yang berada di wilayah Desa Sekonyer Kecamatan Kumai dibagi dalam tiga camp, yaitu Tanjung Harapan, Pondok Tanggui dan Leaky. Di Pondok Tanggui ada Rosemary dengan bayi angkatnya yang belum berusia dua tahun, Gistok, Doyok, Ansar dan masih banyak lagi. Di Tanjung Harapan, ada Adi, Bagus dan Devida. Di Camp Leaky, ada Siswi dengan bayinya yang belum punya nama, Frencis, Carlos, Tutut dan lainnya.

Masih ada satu camp lagi yaitu Natai Lengkuas, yang lebih merupakan areal penelitian di antaranya bekantan --nasalis larvatus.

Selengkapnya...