Kamis, 28 Mei 2009

Gulita dan PPJ

Gulita dan PPJ
Menurut KBBI IV, gulita artinya adalah 1. gelap pekat; 2. penglihatan di darat yang sangat terbatas jaraknya, atau jarak penglihatan yang sama denagn nol. Dengan kata lain, gulita adalah tidak kelihatan apa-apa.
Kondisi seperti itulah yang terjadi di sepanjang Jalan A Yani, sejak gelap menjelang sampai sekitar pukul 23.00. Misalnya, di sepanjang Jalan A Yani kilometer 7 sampai bundaran Bandara Syamsudin Noor kilometer 25, terdapat beberapa titik rawan terutama terkait keamanan dan kenyamanan pemakai jalan.
Terlebih sejak adanya proyek pelebaran jalan, kenyamanan pemakai jalan makin terutama pada malam hari berkurang. Itu lantaran kurangnya tanda peringatan, tidak jarang tumpukan material berupa batu dan pasir memakan badan. Kondisi demikian diperparah oleh gelap yang menyelimuti, karena lampu untuk menerangi jalan belum tiba saatnya untuk dinyalakan.
Akibatnya bisa dibayangkan, tidak tertutp kemungkinan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan lalu lintas atau tindak kejahatan lainnya. Seperti yang saya alami apda Kamis malam (14/5) lalu, sekitar pukul 20.00 Wita. Kendaraan yang saya kendarai roboh, karena tertabrak gundukan batu yang memakan badan jalan beraspal di kawasan Jalan A Yani kilometer 13.
Anak saya luka parah di lutut dan tangan karena ditindih kendaraan. Tangannya keseleo dan lututnya berlubang karena kemasukan batu., sehingga harus diobati di rumah sakit. “Di sini beberapa kali terjadi kecelakaan,” kata seorang warga yang menolong kami. “Masalahnya gelap, dan tumpukan batu ini tidak diberi tanda peringatan untuk pemakai jalan,” timpal warga yang lain sambil menunjuk tumpukan batu yang membuat saya dan anak saya luka-luka. Kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab.
Minggu siang kemarin, terdapat tumpukan batu untuk material pelebaran jalan di kawasan Jalan A Yani kilometer 9. Kalau siang tumpukan batu itu tidak menjadi masalah, tetapi menjelang malam dikhawatirkan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti peristiwa yang saya alami. Kita yakin, semua orang tidak ingin hal itu terjadi padanya dan keluarganya.
Sebagaimana disebutkan bahwa terdapat beberapa titik rawan di sepanjang Jalan A Yani kilometer 7 sampai bundaran Syamsudin Noor kilometer 25. Tititk rawan itu khususnya di kawasan yang sangat gelap, karena tidak ada sama sekali penerangannya. Paling rawan adalah di kawasan Tugu 17 Mei Gambut.
Lantaran sangat gelap pula, membuat saya harus menyerahkan STNK kepada orang yang mengaku kendaraannya rusak karena ‘ditabrak’ saya. Menurut dia, STNK itu sebagai jaminan bahwa saya bersedia mengganti kerusakan kendaraannya, yakni lampu depannya pecah dan beberapa kerusakan lain di bagian depan kendaraannya. Waktu saya ajak ke Polsek Gambut yang tidak jauh dari TKP untuk menyelesaikan masalah itu, dia tak mau.
Peristiwa itu mengingatkan saya pada pesan seseorang yang disampaikan melalui Hotline BPost edisi Sabtu (2/5) bahwa, ada pengendara kendaraan roda dua yang menyalahkan pengendara lain yang menjalankan kendaraannya sembarangan dan mengganggunya. Pengendara pertama itu pun melakukan pembabakan dan perampasan terhadap korban. Mereka berani beroperasi di siang bolong di Jalan A Yani, antara wilayah hokum Polsek Kertak Hanyar dan Polsek Gambut. Apalagi di malam hari nan gulita, tindakan mereka pasti lebih berani lagi.
Kita tahu, bahwa ada kesepakatan antara PLN dan pemda bahwa lampu untuk menerangi jalan dinyalakan di atas pukul 22.00 dan faktanya pukul 23.00, untuk mengurangi beban puncak. Pukul 23.00 itu, sangat jarang pemakai jalan yang lewat, karena terlalu malam. Kebijakan itu boleh saja diterapkan. Tetapi adalah sangat tidak adil, kalau di jalan kawasan rawan kecelakaan lalu lintas dan kejahatan lain diperlakukan sama. Kita tiap bulan membayar pajak penerangan jalan (PPJ) dan tak pernah terlambat, tetapi kita sama sekali tidak dapat menikmatinya. Justru mudarat yang kita dapatkan.
Penerangan yang didapat di kawasan jalan itu, hanya dari lampu iklan/baliho, lampu di depan kantor atau rumah penduduk yang kebetulan dekat jalan. Di kawasan tak ada iklan, kantor dan rumah penduduk, dipastikan sangat gulita dan itu merupakan kesempatan untuk seseorang melakukan niat jahatnya.
Keamanan dan kenyamanan pemakai jalan pun menjadi sirna. Ada niat dan kesempatan, maka terjadilah tindak pidana. Itulah, teori kejahatan.




Selengkapnya...

Ambalat Aset NKRI

Ditulis kamis 290509

Ambalat Aset NKRI
Malaysia kembali berulah. Kapal perang negeri jiran itu kembali melanggar teritorial Indonesia dengan memasuki perairan Ambalat, Nunukan Kalimantan Timur, Senin (25/5). Beruntung, Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Untung Surapati-872 berhasil mengusirnya setelah terjadi perdebatan antara komandan kedua kapal.
Sikap Komandan KRI Untung Surapati, Mayor Laut (P) Salim patut diacungi jempol. Dia gigih mempertahankan milik dan wilayah teritorial negeri ini. Adu argumentasi tak bisa dielakkannya terhadap komandan kapal perang Malaysia itu. Tapi begitu Salim menjelaskan bahwa kapal perang Di Raja Malaysia itu melanggar UNCLOS 82 tentang batas teritorial, komandan KD Yu-3508 diam dan memahami keberadaan kapalnya. Dia pun memutar haluan kapalnya, dan meninggalkan lokasi sampai batas terluar perairan NKRI.
Bukan sekali ini Malaysia 'menzalimi' Indonesia. Pulau Sipadan dan Ligitan berhasil dikuasainya, setelah Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedua pulau itu milik Malaysia. Dengan menarik garis dari dua pulau itu pula, Malaysia ingin 'merampas' pulau lain milik Indonesia yaitu Ambalat.
Sehari sebelumnya, KRI Untung Surapati-872 bersama-sama KRI Hasanuddin-366 mengusir kapal perang Malaysia KD Baung-3509 dari perairan wilayah NKRI. Pada hari itu juga, KRI berhasil mendeteksi helikopter Malaysian Maritime Enforcement Agency dan pesawat Beechraft yang terbang memasuki wilayah udara NKRI sejauh 40 mil laut. Parahnya lagi, ternyata kapal milik Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) dan Police Marine Malaysia bukan sekali atau dua kali memasuki perairan Indonesia. Menurut catatan TNI AL, sejak Januari-April 2009 ini saja, mereka sembilan kali memasuki wilayah Indonesia.
Di bidang kesenian, Malaysia juga bikin ulah terhadap Indonesia. Tidak pupus dari ingatan kita, bagaimana Malaysia mengklaim Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange sebagai miliknya. Semua perlakuan Malaysia itu, benar-benar mengusik ketenangan hidup kita dalam berbangsa dan bernegara.
Kita tidak habis pikir, kenapa negeri Jiran kita --Malaysia-- selalu bersikap seperti itu --begitu melecehkan-- negara kita. Dari melanggar kedaulatan negara kita, menyebut Indon (kata ejekan) kepada saudara kita yang bermukim di Malaysia sampai perlakuannya yang kasar terhadap tenaga kerja asal Indonesia. Semuanya terkesan meremehkan.
Dari perlakuannya yang tidak bersahabat kepada kita itu, sebagai anak negeri kita harus bersikap tegas tapi tanpa emosional kepada negara tetangga itu. Kita harus bisa bersikap tegas dan berwibawa, sebagaimana yang diperlihatkan Mayor Salim dalam upayanya menjaga kedaulatan negeri ini.
Semua negara di dunia ini tahu, bahwa Malaysia bukan negara kepulauan seperti Indonesia. Indonesia memiliki ribuan pulau besar dan kecil yang membentang di Samudera Indonesia dan Pasifik. Tapi, kenapa Malaysia 'berusaha' memiliki Ambalat. Konon, Blok yang luasnya 6.700 kilometer persegi itu kaya sumber daya alam terutama minyak bumi. Kekayaan perut Bumi Ambalat itulah yang diduga menajdi incaran Malaysia, sebab sejumlah perusahaan minyak raksasa dunia juga mengkapling perairan itu.
Kita tidak ingin Ambalat lepas dari tangan kita, hanya lantaran kekayaan alam yang dimilikinya menjadi rebutan. Sebagaimana Timor Timur lepas dari NKRI dan menjadi negara merdeka, karena kandungan minyak di Celah Timor yang diincar orang lain. Kita juga tak ingin konflik dengan Malaysia di era pemerintahan Presiden Ir Soekarno, terulang. Waktu itu muncul jargon 'Ganyang Malaysia', dan semua yang berbau Malaysia harus dimusnahkan.
Sekarang kita hidup di alam damai, jadi semuanya harus diselesaikan dengan damai. Tapi apa pun yang terjadi Ambalat harus berada dalam pelukan NKRI. Untuk itu, kita harus mempertahankan Pulau/Blok Ambalat dari gangguan dan serangan negara lain. Ambalat adalah aset NKRI.



Selengkapnya...