Jumat, 23 Mei 2008

Ketika UASBN Berakhir


SEJAK kemarin, anak-anak kita yang duduk di kelas akhir SD dan sederajat bergelut dengan sejumlah soal ujian. Selama tiga hari sejak Selasa (13/5) sampai besok (15/5), mereka harus mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) di sekolah yang ditunjuk sebagai tempat pelaksanaannya. Termasuk mereka yang bersekolah di pedalaman, harus mengikuti ujian di sekolah inti. Seperti murid dari SD terpencil di Pegunungan Meratus, tempat ujiannya dipindahkan ke sekolah inti sehingga mereka harus turun gunung dan menginap di desa tersebut selama ujian berlangsung. Bahkan ada yang harus menginap di Balai Adat.

Ujian akhir bagi murid SD itu dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, dengan mata pelajaran yang diujikan Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA.

Untuk mendapatkan ijazah yang hanya berupa selembar kertas, mereka harus berjuang keras yang diawali dengan mempersiapkan diri menghadapi dan melaksanakan ujian itu. Selembar kertas itu pula merupakan 'tiket' untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

UASBN SD dan sejerajat itu diselenggarakan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 21-23 dan PP 09 Tahun 2006, yang biayanya ratusan miliar rupiah. Itu belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan orangtua murid, untuk kepentingan anaknya mengikuti ujian tersebut. Terutama murid dari SD di pedalaman yang harus menginap di desa lain, sehingga orangtuanya harus mengeluarkan biaya ekstra. Sebuah pengorbanan cukup besar yang harus dilakukan orangtua. Demi masa depan anaknya. Pengorbanan orangtua dalam pendidikan anaknya itu, belum berakhir sampai di situ. Orangtua terutama dari keluarga tidak mampu, harus berpikir keras mencari dan menyediakan uang yang tidak sedikit untuk kelanjutan pendidikan anaknya. Mereka harus menyiapkan biaya untuk pendaftaran, menyediakan keperluan lain dan tetek bengeknya yang berkaitan dengan sekolah baru dalam hal ini SMP dan sederajat.

Apalagi, saat ini semua harga kebutuhan pokok merangkak naik seiring kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan harga bahan bakar minyak pada 1 Juni nanti. Akibatnya, perhatian orangtua tidak bisa terfokus kepada biaya pendidikan anaknya. Melainkan terpecah-pecah: memikirkan nasib pendidikan anak mereka dan di sisi lain mereka memikirkan bagaimana caranya agar dapur keluarga tetap mengepul.

Berat memang, beban yang harus dipikul orangtua terutama dari keluarga kurang mampu dalam finansial.

Itu sebabnya, karena ketiadaan biaya anak mereka terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara untuk memasuki dunia kerja, sangat mustahil hanya berbekal ijazah SD/sederajat. Jangankan hanya berijazah SD, mereka yang bergelar sarjana (S1) pun masih banyak yang belum bekerja. Saat ini, persaingan kerja sangat tinggi. Penyedia lapangan kerja pun, sangat selektif dalam merekrut tenaga kerja.

Akhirnya, tidak menutup kemungkinan angka pengangguran makin tinggi. Hal itu, merupakan masalah baru bagi kita, masyarakat dan pemerintah.
Selengkapnya...